Tinjauan
Historis dan Praksis
Mohamad
Ali dan Marpuji Ali
Dosen
Al Islam & Kemuhammadiyahan UMS
PENDAHULUAN
Prof. M. Yunan Yusuf, Ketua
Majlis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah Pusat periode
2000-2005, acapkali melontarkan wacana "Robohnya Sekolah
Muhammadiyah" untuk menggambarkan betapa rendahnya rata-rata kualitas dan
mutu sekolah yang diselenggarakan Muhammadiyah. Kritisi atas pendidikan
Muhammadiyah juga muncul berkenaan dengan belum tercerminnya nilai-nilai Islam
dalam perilaku warga sekolah, belum berhasil menekan ongkos pendidikan sampai
ke batas termurah, belum sanggup menciptakan kultur islami yang representatif,
telah kehilangan identitasnya, dan lebih kooperatif dengan kelompok penekan.
Berbagai kritik tersebut tidak cukup dijawab hanya dengan perombakan kurikulum,
peningkatan gaji guru, pembangunan gedung sekolah ataupun pengucuran dana.
Untuk menyahuti dan menuntaskan problem-problem itu harus ada keberanian untuk
membongkar akar permasalahan yang sesungguhnya, yaitu karena belum tersedianya
orientasi filosofi pendidikan Muhammadiyah dan teori-teori pendidikan modern
dan islami. Karena adakalanya keterbelakangan sektor kependidikan suatu bangsa
atau suatu umat disebabkan tidak terutama oleh keterbelakangan infrastruktur
yang mendukungnya tetapi oleh perangkat konsep yang mendasarinya.
Dalam usia Muhammadiyah
menjelang satu abad dengan jumlah lembaga pendidikan mulai dari Taman
Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi ribuan, adalah suatu yang aneh
Muhammadiyah belum mempunyai filsafat pendidikan. Bagaimana mungkin kerja
hiruk-pikuk pendidikan tanpa satu panduan cita-cita yang jelas? Apatah lagi
bila dikaitkan dengan upaya mendidik dalam rangka pembentukan generasi ke
depan. Ketiadaan penjabaran filsafat pendidikan ini, menurut Mahsun Suyuthi,
merupakan sumber utama masalah pendidikan di Muhammadiyah. Bahkan Rusli Karim
menengarai bahwa kekosongan orientasi filosofis ini ikut bertanggung jawab atas
penajaman dikotomi antara “ilmu-ilmu keagamaan” dan “ilmu umum”, yang pada
giliran berikutnya akan melahirkan generasi yang berkepribadian ganda yang
tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan "musuh" dalam
selimut. Dengan demikian, sudah tinggi
waktunya untuk bergegas mencoba menjajagi kemungkinan munculnya satu alternatif
rumusan pendidikan Muhammadiyah sebagai ikhtiar meniti jalan baru pendidikan
Muhammadiyah. Menyatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah belum memiliki rumusan
filosofis bukan berarti tidak ada sama sekali perbincangan ke arah itu. Laporan
seminar nasional filsafat pendidikan Muhammadiyah Majlis Dikdasmen Muhammadiyah
Pusat, telah mulai menyinggung pembahasan tentang filsafat pendidikan
Muhammadiyah, terutama tulisan A. Syafii Maarif yang berjudul "Pendidikan
Muhammadiyah, aspek normatif dan filosofis". Sesuai dengan temanya, Maarif
hanya menelusuri hasil-hasil keputusan resmi Muhammadiyah (aspek normatif) dan
orientasi filosofis konsep ulul albab. Demikian pula buku suntingan Yunahar
Ilyas dan Muhammad Azhar berjudul Pendidikan dalam Persepektif Al-Qur'an yang
ditulis oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, berusaha mengelaborasi konsep-konsep
pendidikan di dalam Al-Qur'an dan mendialogkan wahyu dengan perkembangan
teori-teori pendidikan mutakhir. Karya terakhir yang patut dipertimbangkan
adalah buku Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah karya Abdul Munir Mulkhan, seorang aktifis Muhammadiyah. Menurutnya,
kemacetan intelektualisme Islam serta kemandegan ilmu pengetahuan dan teknologi
di dunia Muslim akibat berkembangnya semacam “ideologi ilmiah” yang menolak
apapun yang bukan berasal dari Islam.
Artikel ini secara hati-hati
akan coba mencari alternatif filsafat pendidikan Muhammadiyah dan merumuskannya
pada tingkat praksis, ditingkat kurikulum pendidikan. Untuk melangkah ke arah
itu, pertama akan ditelusuri problematika perumusan filsafat pendidikan Islam
sebagai payung besar pendidikan Muhammadiyah. Kedua, melacak gagasan kunci dan praksis pendidikan
Kyai Ahmad Dahlan yang bertitik tolak dari pendidikan integraslistik. Ketiga,
menjajagi kemungkinan tauhid sebagai titik tolak perumusan filsafat pendidikan
Muhammadiyah, dan kemudian ditutup dengan refleksi.
LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM
Filsafat yang dianut dan
diyakini oleh Muhammadiyah adalah berdasarkan agama Islam, maka sebagai
konsekuensinya logik, Muhammadiyah berusaha dan selanjutnya melandaskan
filsafat pendidikan Muhammadiyah atas prinsip-prinsip filsafat yang diyakini
dan dianutnya. Filsafat pendidikan memanifestasikan pandangan ke depan tentang
generasi yang akan dimunculkan. Dalam kaitan ini filsafat pendidikan
Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari filsafat pendidikan Islam, karena yang
dikerjakan oleh Muhammadiyah pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Islam yang
menurut Muhammadiyah menjadi dasar pijakan bagi pembentukan manusia Muslim.
Oleh karena itu, sebelum mengkaji orientasi filsafat pendidikan Muhammadiyah
perlu menelusuri konsep dasar filsafat pendidikan Islam yang digagas oleh para pemikir
maupun praktisi pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam
membincangkan filsafat tentang pendidikan
bercorak Islam yang berisi perenungan-perenungan mengenai apa
sesungguhnya pendidikan Islam itu dan bagaimana usaha-usaha pendidikan
dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mohd. Labib
Al-Najihi, sebagaimana dikutip Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, memahami
filsafat pendidikan sebagai aktifitas pikiran yang teratur yang menjadikan
filsafat itu sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses
pendidikan. Suatu filsafat pendidikan yang berdasar Islam tidak lain adalah
pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam dan yang
orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan perkataan lain,
filsafat pendidikan Islam adalah suatu analisis atau pemikiran rasional yang
dilakukan secara kritis, radikal, sistematis dan metodologis untuk memperoleh
pengetahuan mengenai hakikat pendidikan Islam.
Al-Syaibany menandaskan bahwa
filsafat pendidikan Islam harus mengandung unsur-unsur dan syarat-syarat
sebagai berikut: (1) dalam segala prinsip, kepercayaan dan kandungannya sesuai
dengan ruh (spirit) Islam; (2) berkaitan dengan realitas masyarakat dan
kebudayaan serta sistem sosial, ekonomi, dan politiknya; (3) bersifat terbuka
terhadap segala pengalaman yang baik (hikmah); (4) pembinaannya berdasarkan
pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek-aspek yang melingkungi; (5)
bersifat universal dengan standar keilmuan; (6) selektif, dipilih yang penting
dan sesuai dengan ruh agama Islam; (7) bebas dari pertentangan dan persanggahan
antara prinsip-prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya; dan (8) proses
percobaan yang sungguh-sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat,
mendalam dan jelas.
Objek kajian filsafat
pendidikan Islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu obyek material dan obyek
formal. Obyek material filsafat pendidikan Islam adalah bahan dasar yang
dikaji dan dianalisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau
sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian, obyek material
filsafat pendidikan Islam adalah segala hal yang berkaitan dengan usaha manusia
secara sadar untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang berkembangnya
kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian atau akhlak peserta didik melalui
pendidikan. Sedangkan obyek formalnya adalah aspek khusus daripada usaha
manusia secara sadar yaitu penciptaan kondisi yang memberi peluang pengembangan
kecerdasan, pengetahuan dan kepribadian
sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk menjalani dan
menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan Islam sebagai hudan dan
furqan. Sebagaimana dinyatakan Arifin, bahwa filsafat pendidikan Islam
merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan
sebagai disiplin keilmuan pendidikan. Demikian pula sistematikanya, filsafat
pendidikan Islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi kompas bagi
teorisasi pendidikan Islam. Kalau demikian, apabila filsafat pendidikan
Muhammadiyah mengacu atau sama dengan filsafat pendidikan Islam sebenarnya
masih memunculkan masalah, sebab ia masih rentan dan belum kukuh untuk disebut
sebagai sebuah disiplin ilmu baru. Pada titik ini, orientasi filsafat pendidikan
Muhammadiyah itu dapat memperkaya dan memperkukuh kedudukan filsafat pendidikan
Islam.
KYAI AHMAD DAHLAN: PERETAS PENDIDIKAN INTEGRALISTIK
Meskipun tema pembaharuan
pendidikan Muhammadiyah memperoleh perhatian yang cukup serius dari para
pengkaji sejarah pendidikan Indonesia, namun sejauh ini belum ada satu karya
pun yang menunjukkan bagaimana sebenarnya model filsafat pendidikan yang
dikembangkan oleh Muhammadiyah. Untuk melangkah ke arah itu bisa dilakukan
dengan beberapa pendekatan: (1) pendekatan normatif yakni bertitik tolak dari
sumber-sumber otoritatif Islam (al-Qur’an dan Sunnah Nabi), terutama tema-tema
pendidikan, kemudian dieksplorasi sedemikian rupa sehingga terbangun satu
sistem filsafat pendidikan; (2) pendekatan filosofis yang diberangkatkan dari mazhab-mazhab
pemikiran filsafat kemudian diturunkan ke dalam wilayah pendidikan; (3)
pendekatan formal dengan merujuk pada hasil-hasil keputusan resmi
persyarikatan; (4) pendekatan historis-filisofis yaitu dengan cara melacak
bagaimana konsep dan praksis pendidikan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci
dalam Muhammadiyah lalu dianalisis dengan dengan pendekatan filosofis. Corak
pendekatan keempat yang dipilih dalam tulisan ini, dengan menampilkan Kyai
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai tokoh kuncinya. Benar bahwa dia belum
merumuskan landasan filosofis pendidikan tapi sebenarnya ia memiliki minat yang
besar terhadap kajian filsafat atau logika sehingga pada tingkat tertentu telah
memberikan jalan lempang untuk perumusan satu filsafat pendidikan.
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923)
adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan
cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri
bagaimana orientasi filosofis pendidikan kyai musti lebih banyak merujuk pada
bagaimana ia membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir Kyai
yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan
secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan
logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat
Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan
tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka
dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan
di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3)
ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang
hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi Kyai Dahlan adalah
pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir
Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia
membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan
ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu "model"
dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan "titik pusat" dari
suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi
golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan
paham agama Islam. Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih
menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, Kyai Dahlan mengabdikan
diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada
gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya.
Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun
1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang
dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga pendidikan Islam
semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah
menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal
ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang
hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan
pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini Kyai Dahlan “gelisah”, bekerja
keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua
sistem pendidikan itu.
Cita-cita pendidikan yang
digagas Kyai Dahlan adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil
sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang
memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, Kyai Dahlan melakukan
dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang
sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan
umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena
umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak
dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Kyai Dahlan tentang
model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih
terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya
warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu
pendidikan atau psikologi perkembangan.
Dalam rangka menjamin
kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Kyai
Dahlan akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode
pembelajaran yang dikembangkan Kyai Dahlan bercorak kontekstual melalui proses
penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Kyai menjelaskan surat al-Ma’un kepada
santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat
itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus
mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru
diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik
Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan Kyai
Dahlan.
Anehnya, yang diwarisi oleh
warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan,
sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak mau menerima inovasi pendidikan.
Inovasi pendidikan dianggap sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap
dari Kyai Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos
pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan
arangnya. Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu
memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak.
Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang
paling baik adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren
karena di dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem
pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam
pondok pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik. Dalam semangat yang sama,
belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah berpacu menuju peningkatan mutu
pendidikan. Salah satu model pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah
sampai sore hari, tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
SEKOLAH SYARIAH: SEBUAH CATATAN KANCAH
Pendidikan Islam yang bercorak
integralistik adalah suatu sistem pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali
oleh nilai spiritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam. Meski ide ini
telah klasik namun tetap menarik perhatian, sebab merealisasikan ke tataran
praksis selalu tidak mudah. Setelah pembaharuan pendidikan berlangsung hampir
satu abad dualitas pendidikan Islam (juga Muhammadiyah) masih tampak menonjol.
Suatu dualitas budaya muncul di mana-mana di dunia Muslim, suatu dualitas dalam
masyarakat yang berasal dari sistem pendidikan ganda; sistem pendidikan Islam
tradisional, dan sistem pendidikan sekuler modern melahirkan tokoh-tokoh
sekuler. Dengan demikian, proses pencarian sistem pendidikan integralistik
harus dilakukan secara terus-menerus sebangun dengan akselerasi perubahan
sosial dan temuan-temuan inovatif pendidikan. Di Muhammadiyah, langkah ke arah
itu masih terus berlangsung yaitu dengan membangun sekolah-sekolah alternatif
atau kemudian dikenal dengan sekolah unggulan.
Satu dekade terakhir ini virus
sekolah unggul benar-benar menjangkiti seluruh warga Muhammadiyah. Lembaga
pendidikan Muhammadiyah mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi
(PT) berpacu dan berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas pendidikan untuk
menuju pada kualifikasi sekolah unggul. Sekarang ini hampir di semua daerah
kabupaten atau kota terdapat sekolah unggul Muhammadiyah, terutama untuk
tingkat TK dan Sekolah Dasar. Sekolah yang dianggap unggul oleh masyarakat
sehingga mereka menyekolahkan anak-anak di situ pada umumnya ada dua tipe;
sekolah model konvensional tetapi memiliki mutu akademik yang tinggi, atau
sekolah model baru dengan menawarkan metode pembelajaran mutakhir yang lebih
interaktif sehingga memiliki daya panggil luas.
Ada beberapa sisi menarik dari
Sekolah Model Baru ini. Pada umumnya dikelola oleh anak-anak muda, memakai
sistem full day school (waktu pembelajaran hingga sore hari), memakai
metode-metode baru dalam pembelajaran. Hampir semua SD model baru ini justru
muncul atau gedungnya itu berasal dari SD Muhammadiyah yang sudah mati, tapi dengan
manajemen dan sistem pendidikan baru dapat tumbuh menjadi sekolah unggul,
misal; di Jakarta ada SD Muhammadiyah 8 Plus yang berada di Duren Sawit,
Sekolah Kreatif SD Muhammadiyah 16 Surabaya, SD Muhammadiyah Alternatif di
Magelang, SD Muhammadiyah Condong Catur di Yogyakarta, termasuk SD Muhammadiyah
Program Khusus Kottabarat Surakarta.
Perjumpaan penulis dengan
mereka (kepala-kepala sekolahnya) menunjukkan bahwa inovasi-inovasi pendidikan
yang dikembangkan, meskipun sudah cukup signifikan belum menyentuh pada
persoalan krusial, yakni mencoba merumuskan bagaimana filsafat dan kurikulum
pendidikan alternatif. Ahmad Solikhin, Kepala SD Muhammadiyah Condong Catur,
sudah merasakan urgensinya namun belum menjadi kesadaran bersama sehingga belum
ada upaya-upaya serius untuk merumuskan satu sistem pendidikan alternatif yang
islami. Ikhtiar untuk coba merumukan satu sistem pendidikan alternatif mulai
tumbuh di SD Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta di bawah
bimbingan langsung seorang pakar pendidikan khusus, Prof. Sholeh YAI, Ph.D.
Adalah menarik untuk mengikuti dari dekat proses-proses yang sedang berlangsung
di dalamnya.
Untuk
meraih kembali kegemilangan Islam, menurut Prof. Sholeh, sudah tinggi waktunya
untuk segara menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan sistem, atau Tafsir Sistem.
Pada instansi pendidikan ada satu konsep kunci yang musti dirumuskan, yakni ide
fitrah berupa tauhid. Dengan demikian, orientasi filsafat dan kurikulum
pendidikan bertitik tolak dari konsep Tauhid. Bagaimana tauhid mendasari
pendidikan di SD Muhammadiyah Program Khusus, mari kita ikuti penjelasan
berikut:
Berseberangan dengan pandangan
hidup (paradigma pendidikan) kaum sekuler yang menempatkan material-duniawiyah
sebagai tujuan utama. Paradigma pendidikan Islam justru mengaksentuasikan
nilai-nilai tauhid sebagai tujuan yang paling prinsipil dan substansial. SD
Muhammadiyah Program Khusus menjadikan tauhid sebagai landasan pokok kurikulum
yang secara kongkrit terejawantahkan dalam seluruh proses pembelajaran.
Kurikulum yang ada dimodifikasi, dirancang, dan didesain sedemikian rupa
sehingga nilai-nilai tauhid menjiwai dan mempola seluruh mata pelajaran;
pembelajaran matematika, sains, bahasa dan materi lain diorientasikan untuk
mengungkit kembali potensi tauhid (baca fitrah), menumbuhkembangkan, dan
mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Secara kasat mata adalah mudah
untuk mengatakan bahwa seluruh lembaga pendidikan Islam, apalagi sekolah
Muhammadiyah, sudah otomotis berdasarkan tauhid. Bukankah di sekolah tersebut
diajarkan materi agama yang relatif banyak? Kenyataan di lapangan menunjukkan
sebaliknya. Ketiadaan orientasi filsafat pendidikan pada urutannya membawa
kebingungan pada diri pendidik sehingga ketika mengajar peserta didik sangat
mungkin tergelincir pada filsafat pendidikan sekuler. Dengan demikian, tanpa
disadari kita telah ikut mengkampanyekan paham sekularisme. Bagaimana kedudukan
Tauhid dalam penyusunan kurikulum di SD Muhammadiyah Program Khusus, kita simak
uraian di bawah ini:
Sebuah ilustrasi berikut
mungkin bisa membantu: puluhan truk (rit) pasir, sejumlah sak semen dan
beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila hanya di pajang di toko atau
disimpan di gudang. Material itu menjadi bermakna di tangan tukang batu atau
arsitek, beragam bentuk bangunan atau arsitektur akan bisa diwujudkan…..Dalam
konteks pendidikan ilustrasi tersebut menjadi jelas; melimpahnya materi tentang
aqidah, akhlak, al-Qur’an-Hadits, atau hafalan sekian juz plus materi ilmu umum
menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke peserta didik dalam
keadaan saling terpisah dan bersifat parsial.
Kita menyadari bahwa ikhtiar membangun kurikulum
berbasis tauhid (KBT) tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membutuhkan
beberapa generasi untuk merealisasikannya, tapi langkah itu setidaknya telah
meletakkan satu batu bata untuk pembangunan peradaban Islam yang kokoh dan
anggun. Dan kerja di pendidikan adalah kerja-kerja yang sangat stategis dalam
rangka meretas generasi masa depan yang berkualitas. Mungkin ada yang bertanya,
bagaimana aktualisasi KBT di SD Muhammadiayah Program Khusus? Untuk sekarang
ini masih terlalu dini untuk melakukan penilaian, tapi paling tidak sebuah
penilaian awal yang bersifat umum perlu dikemukakan. Perlu ditekankan di sini,
bahwa ini adalah penglihatan awal dari sebuah proses yang masih sedang
berlangsung sehingga tidak menutup kemungkinan ada perubahan di kemudian hari.
Pertama,
peserta didik pada umumnya berani mengekspresikan diri, ada keberanian untuk
mengutarakan pikirannya. Meski ada keberatan dari beberapa orang tua dan guru
karena alasan etika atau unggah ungguh, seiring meningkatnya kedewasaan masalah
ini pasti akan tertata dengan sendirinya. Kemampuan ini adalah sesuatu yang
sangat berharga, dan telah telah menghilang di sekolah-sekolah konvensional.
Banyak temuan di lapangan, anak-anak berani mengingatkan orang tuanya yang lupa
makan dengan berdiri, mengingatkan mereka untuk sholat. Fenomena ini disebabkan
atau dilatar belakangi oleh (a) alasan agama yang memang ditanamkan di sekolah
ini, bahwa yang wajib di takuti (dalam makna positif) dan Yang Maha Benar
adalah Allah karenanya selain Dia tidak perlu ditakuti dan ada kemungkinan
melakukan kekeliruan sehingga sudah pada tempatnya bila diingatkan, tidak
terkecuali orang tua atau guru. Dan, karena (b) model pembelajaran inklusi yang
dikembangkan oleh sekolah. Dengan pembatasan jumlah siswa maksimal 30 perkelas
dan diampu 2 guru memungkinkan setiap potensi anak terdeteksi oleh guru
sehingga dapat ditumbuhkan secara optimal.
Kedua,
semangat anak-anak untuk mempraktekkan ajaran agama sangat tinggi, sejak kelas 1 ditanamkan untuk selalu
shalat wajib lima waktu secara berjamaah. Mulai kelas 3 sudah kelihatan bahwa
mereka rata-rata lebih suka shalat berjamaah di masjid, bahkan ada beberapa
anak yang sudah secara rutin menjalankan shalat Tahajud. Keadaan ini sedikit
banyak merupakan buah dari pendekatan praktek dalam pembelajaran agama. Agama
bukan hanya olah intelektual yang berisi konsep-konsep abstrak atau menjadi
hafalan di kepala, tapi dengan mempraktekkan secara langsung apa yang
diperintahkan oleh Islam dan menghindari apa yang dilarangnya.
Ketiga,
muncul rasa ingin tahu yang besar pada diri anak-anak untuk segera memahami
suatu permasalahan. Ini memang sudah dirancang, di mana semua tema pembelajaran
harus di kaitkan dengan problem-problem kongrit di lapangan, baik yang
dilakukan secara reguler berupa Praktek Pembelaran Lapangan (PPL) yang
dilakukan setahun 2 kali maupun dengan model riset laboratorium.
REFLEKSI
Apabila Muhammadiyah
benar-benar mau membangun
sekolah/universitas unggul maka harus ada keberanian untuk merumuskan bagaimana
landasan filosofis pendidikannya sehingga dapat meletakkan secara tegas
bagaimana posisi lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah dihadapan pendidikan
nasional, dan kedudukannya yang strategis sebagai pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta fungsinya sebagai wahana dakwah Islamiyah. Ketiadaan
orientasi filosofis ini jelas sangat membingungkan; apa harus mengikuti arus
pendidikan nasional yang sejauh ini kebijakannya belum menuju pada garis yang
jelas karena setiap ganti menteri musti ganti kebijakan. Kalau memang memilih
pada pengembangan iptek maka harus ada keberanian memilih arah yang berbeda
dengan kebijakan pemerintah. Model pondok gontor bisa dijadikan alternatif,
dengan bahasa dan kebebasan berfikir terbukti mampu mengantarkan peserta didik
menjadi manusia-manusia yang unggul.
Jika menengok
sekolah/universitas Muhammadiyah saat ini, dari sisi kurikulumnya itu sama
persis dengan sekolah/universitas negeri ditambah materi al-Islam dan
kemuhammadiyahan. Kalau melihat materi yang begitu banyak, maka penambahan itu
malah semakin membebani anak, karenanya amat jarang lembaga pendidikan
melahirkan bibit-bibit unggul. Apakah tidak sudah waktunya untuk merumuskan
kembali Al-Islam dan kemuhammadiyahan yang terintegrasikan dengan materi-materi
umum, atau paling tidak disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik; misalnya,
evaluasi materi ibadah dan Al-Qur’an, serta bahasa dengan praktek langsung
tidak dengan sistem ujian tulis seperti sekarang ini.
Sembari merumuskan orientasi
filosofis pendidikan, pendidikan Islam (Muhammadiyah) memerlukan kepekaan dalam
memahami perkembangan kehidupan dan menjawab setiap kebutuhan baru yang timbul
dari cita-cita anggota masyarakat dengan strategi sebagai berikut:
1.
mengusahakan nilai-nilai islami dalam pendidikan
Islam menjadi ketentuan standar bagi pengembangan moral atau masyarakat yang
selalu mengalami perubahan itu;
2.
Mengusahakan peran pendidikan Islam mengembangkan
moral peserta didik sebagai dasar pertimbangan dan pengendali tingkah lakunya
dalam menghadapi norma sekuler;
3.
Mengusahakan norma islami mampu menjadi
pengendali kehidupan pribadi dalam menghadapi goncangan hidup dalam era
globalisasi ini sehingga para peserta didik mampu menjadi sumber daya insani
yang berkualitas;
4.
Mengusahakan nilai-nilai islami dapat menjadi
pengikat hidup bersama dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan umat
Islam yang kokoh dengan tetap memperhatikan lingkungan kepentingan bangsa; dan
(5) mengusahakan sifat ambivalensi pendidikan Islam agar tidak timbul pandangan
yang dikotomis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Munir Mulkhan.1993. Paradigma Intelektual Muslim;Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS.
_________________
.1990. Pemikiran KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan
Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Abdul
Mukti Ali. 1985. Interpretasi Amalan Muhammadiyah. Jakarta: Harapan
Melati.
_____________ . 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa
Ini. Jakarta: Rajawali Pers.
Achmadi.
1992. Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan. Yogyakarta Aditya
Media.
Ahmad
Syafii Maarif. "Pendidikan Muhammadiyah: Aspek Normatif dan
Filosofis" dlm. M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. 2000. Filsafat
Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis Dikdasmen PP
Muhammadiyah.
Ahmad
D. Marimba.1989. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Maarif.
Ahmad
Tafsir. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung; Rosdakarya.
Amir
Hamzah Wirjosukarto.1968. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran yang
diselenggarakan oleh Pergerakan Muhammadiyah.Malang: Ken Mutia.
Brubacher,
John S. 1978. Modern Philosophies of Education. New York: McGraw-Hill
Book Company.
CA van
Peursen. 1980. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: Gramedia.
HM
Arifin.1994. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Imam
Barnadib. 1982. Arti dan Metode Sejarah Pendidikan. Yogyakarta:FIP-IKIP
Yogyakarta.
Karel
A. Steenbrink.1994. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern. Jakarta; LP3ES.
Marpuji
Ali & Mohamad Ali, “Meretas Sekolah Unggul dan Menata Majlis Dikdasmen
Muhammadiyah” dalam Suara
Muhammadiyah 1-15 Oktober 2004.
M.
Sholeh YAI & Mohamad Ali. “Menuju Kurikulum Berbasis Tauhid” dalam PK
Media edisi II/2004.
MT
Arifin.1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
M
Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir. "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah:
Sebuah Perumusan Awal" dalam M Yunan Yusuf & Piet H. Chaidir (ed.).
2000. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal. Jakarta: Majlis
Dikdasmen PP Muhammadiyah.
M.
Rusli Karim. "Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Perspektif Islam"
dlm. M.Yunan Yusuf dkk. (ed.). 1985. Cita dan Citra Muhammadiyah. Jakarta:
Pustaka Panjimas.
Mahsun
Suyuthi. "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Kembali Tergugat" dlm.
Amien Rais (ed). 191984. Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial.
Yogyakarta: PLP2M.
M.
Quraish Shihab. 1993. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Muhammad
Quthb. 1984. Sistem Pendidikan Islam. Terjemahan Salman Harun. Bandung:
Al-Ma’arif
Noeng
Muhadjir.1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Omar
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany. 1979. Falsafah Pendidikan Islam.
Terjemahan Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Soegarda
Purbakatja. 1970. Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka. Jakarta:
Gunung Agung.
Tim
Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan Islam.
Surabaya: Karya Abditama.
Seperti
biasa, dengan retorika berapi-api Prof. Yunan Yusuf berulang kali melemparkan
gagasan itu, misalnya dalam acara Diksuspala angkatan XV dan Workshop Sekolah
Unggul Muhammadiyah yang berlangsung tiga kali masing-masing di Jakarta,
Yogyakarta dan Surabaya sepanjang tahun 2004. Istilah 'Robohnya Sekolah
Muhammadiyah' beliau pinjam dari sasatrawan asal Minang, AA Nafis (2000)
melalui karanya yang berjudul 'Robohnya Surau kami'. Melalui cerpen ini Navis
mengkritik kaum agamawan (para penganut agama, terutama Islam) yang terlalu
bersemangat untuk meraih surga diakhirat tapi melupakan meraih
"surga" di muka bumi ini melalui kerja-kerja kemanusiaan (menjalankan
fungsinya sebagai khalifah), sampai akhirnya Surau itu roboh. Dengan meminjam
istilah itu, secara konotatif kemungkinan kritik itu diarahkan kepada warga
Muhammadiyah yang berlomba-lomba mendirikan sekolahan hanya bermodal ikhlas
tanpa memperhatikan mutu/kualitas dan standar kelayakan pendidikan sehingga
begitu ada arus perubahan satu persatu sekolah-sekolah Muhammadiyah rontok,
kehabisan murid seperti yang terjadi belakangan ini. Sedangkan secara
denotatif, memang untuk menunjukkan bahwa bangunan gedung-gedung sekolah
Muhammadiyah rata-rata sudah menua, reot sehingga benar-benar mau roboh.
Kritik itu diutarakan oleh saudara Mahsun
Suyuthi, "Filsafat Pendidikan Muhammadiyah Kembali Tergugat" dlm M.
Amien Rais, Pendidikan Muhammadiyah dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: PLP2M,
1985) hlm. 85-101.
Filsafat memang bukan hal yang mudah, namun di
lain pihak dapat dikatakan bahwa setiap orang berfilsafat karena ia
merefleksikan banyak hal. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan yang
terbuka bagi setiap orang, seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan yang
tidak mempersoalkan hal ikhwal sehari-hari. Pernyataan inklisifitas filsafat
tersebut disampaikan CA van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta:
Gramedia, 1980) hlm 1- 8.
Al-Syaibani menunjukkan beberapa kegunan
filsafat pendidikan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan, yaitu: (1) untuk
membentuk pemikiran yang sehat bagi para penyelenggara dan pengelola terhadap
proses pendidikan; (2) dapat membentuk azas yang dapat ditentukan pandangan
pengkajian yang umum dan yang khas; (3) untuk penilaian pendidikan dalam arti
yang menyeluruh; (4) menjadi sandaran intelektual atas tindakan-tindakan dalam
pendidikan; (5) memberi corak dan pribadi yang khas dan istimewa sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan
realitas sosial yang melingkunginya. Lihat Omar Mohammad Al Touny Al-syabani, Falsafah
Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hlm. 32-38.
Persoalan ini telah digumuli secara intensif
oleh Dr. Ahmad Tafsir mulai dari penelitian tesis sampai dengan disertasi dan
pengalaman menjadi kepala SMP Muhammadiyah di Bandung selama 7 tahun, ia
menuturkan: "Disertasi itu sendiri tidak terlalu baik, tapi ada satu hal
penting yang saya temukan dalam penelitian itu: mengapa sekolah-sekolah
Muhammadiyah secara pukul rata mutunya lebih rendah ketimbang sekolah
pemerintah dan sekolah yang dikelola oleh lembaga Katolik". Menurutnya ada
dua kelemahan mendesar: pertama, umat Islam belum memperhatikan masalah mutu
pendidikan; kedua, pengelola, kepala sekolah dan guru sekolah
Islam/Muhammadiyah belum memiliki teori-teori pendidikan modern dan islami.
Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:
Rosdakarya, 1994) hlm. 1-3.
Winarno Surakhmad, “Ilmu Kependidikan untuk
Pembangunan” dlm. Prisma No 3/1986.
Mahsun Suyuthi, "Men
ggugat
....... hlm. 96.
Rusli Karim melihat bahwa ijtihad KH Ahmad
Dahlan untuk mengadopsi sistem pendidikan model Barat adalah satu jalan pintas,
keterpaksaan (baca: dharurat). Sebab, Kyai melihat bahwa pendidikan merupakan
kunci untuk melakukan berbagai perintah agama. Mengingat sistem pendidikan
kolonial dianggap yang terbaik maka jalan yang paling mudah adalah dengan
mengadopsi sistem tersebut lalu disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran
agama. Generasi sesudah Kyai Dahlan lebih disibukkan untuk mendirikan lembaga
pendidikan hasil ijtihad, bukan menangkap subsatansi ijtihad yaitu bagaimana
mengintegrasikan/mensintasakan ilmu umum dan ilmu agama, karenanya cita-cita
Kyai untuk melahirkan ulama-intelek dan intelek ulama belum dapat
terpenuhi.
Ahmad Syafii Maarif, "Pendidikan
Muhammadiyah: Aspek Normatif dan Filosofis" dlm M. Yunan Yusuf dan Piet H. Chaidir (ed.),
Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah,
2000) hlm. 19-27.
Buku ini ditulis oleh para intelektual
Muhammadiyah seperti: Ahmad Ahzar Basyir, Ahmad Syafii Maarif, Mochtar Buchori,
Noeng Muhadjir, Yunan Yusuf, dan lain-lain. Sedangkan tema-tema yang dipilih
meliputi: manusia dalam perspektif Al-Qur'an, psikologi dalam perspektif
al-Qur'an, Pendidikan dalam perspektif Al-Qur'an tinjauan mikro dan makro,
sains dan teknologi dalam perspektif Al-Qur'an, dan pendidikan Al-Qur'an di
perguruan tinggi.
Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual
Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam
dan Dakwah (Yogyakarta: Sipress, 1993).
Pedoman Guru Muhammadiyah, Seri MPP No. 5,
hlm. 26.
M. Yunan Yusuf & Piet H. Khaidir,
"Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Sebuah Perumusan Awal" dlm M.Yunan
Yusuf & Piet H. Khaidir (ed.) Filsafat Pendidikan Muhammadiyah: Naskah Awal
(Jakarta: Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah, 2000) hlm. 1-2.
Di sini dibedakan antara Pendidikan Islam dan
Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Islam meliputi segala usaha untuk memelihara
dan mengembangkan fitrah manusia dan berbagai potensi yang ada padanya menuju
terbentuknya manusia seutuhnya sesuai dengan norma Islam. Sedangkan pendidikan agama
Islam lebih dikhususkan pada usaha memelihara dan mengembangkan fitrah
keberagamaan subjek didik agar lebih mampu memahami, menghayati, dan
mengamalkan agama Islam. Dalam tulisan ini makna pendidikan Islam mengacu pada
pengertian yang pertama, karenanya tidak terbatas pada mata pelajaran agama
seperti fikih, aqidah, syariah tapi mencakup seluruh bidang studi yang memakai
pendekatan Islam. Lihat, Achmadi, Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan
(Yogyakarta: Aditya Media, 1992) hlm. ix.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam (Bandung: Al-Maarif, 1989) hlm 24.
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah
Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hlm. 27.
HM Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta:
Bumi Aksara, 1994) hlm. 27.
Mulkhan, Paradigma ...... hlm. 74.
Al-Syaibany, Falsafah..... hlm. 47-50.
Mulkhan, Paradigma ....... hlm 78.
Arifin, Filsafat ......... hlm. 176.
Lihat: Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan
Pendidikan dan Pengajaran yang di Selenggarakan oleh Muhammadiyah (Malang: Ken
Mutia, 1968); MT Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1987); Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan dalam Alam
Indonesia Merdeka (Jakarta: Gunung Agung, 1970); karel A. Steenbrink, Pesantren
Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994),
untuk menyebut beberapa pengkaji pendidikan di Indonesia terkemuka. Para
peneliti itu umumnya memakai pendekatan sejarah dalam mengkaji pendidikan yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah sehingga tidak mampu menyingkap lebih jauh
apa sebenarnya ide dasar dibalik pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh KH
Ahmad Dahlan. Padahal, idealnya kajian sejarah itu dilengkapi dengan filsafat
pendidikan sehingga mampu menggambarkan secara utuh proses yang berlangsung
sebagaimana ditandaskan oleh Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan
Sosial (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987); dan Imam Barnadib, Arti dan Metode
Sejarah Pendidikan (Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta, 1982).
Contoh yang sangat bagus untuk kajian ini
dilakukan oleh Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam (Bandung: PT AlMaarif,
1984). Bertitik tolak dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah ia mencoba merumuskan
bagaimana sistem pendidikan Islam melalui tema-tema: alat dan tujuan, ciri-ciri
khas sistem pendidikan Islam, Jaringan-jaringan yang berlawanan pada diri
manusia
Sebuah kajian mendalam tentang model ini
dilakukan oleh John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education (New York:
McGraw-Hill, 1978). Brubacher mendaftar tidak kurang dari dua belas (12) mazhab
filsafat yang berpengarung dalam pengembangan pendidikan, eksistensialisme,
organisme, idealisme, realisme, rekonstrusionisme dan lain-lain.
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH Ahmad Dahlan
dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan sosial (Jakarta: Bumi Aksara, 1990)
hlm. 13-14.
Nurcholish Madjid, "Tentang Cendekiawan
dan Pembaharuan" dlm. Aswab Mahasin & Ismed Natsir (ed.) Cendekiawan
dan Politik. (Jakarta: LP3ES,1984) hlm. 310-314.
Ridwan Saidi, "Catatan di sekitar Regenerasi
dalam Kelompok Islam" Prisma No 2 Februari 1980.
Secara resmi tahun 1901 adalah awal di
mulaianya ethische politiek oleh pemerintah Belanda yang dimaksudkan untuk
membayar hutang budi (ereschuld) negeri Belanda kepada Indonesia dengan cara
meningkatan tingkat melek huruf anak-anak Indonesia melalui pengadaan
lembaga-lembaga pendidikan model Belanda. Hasrat untuk menyelenggarakan
pendidikan model Barat sangat besar,
terbukti dengan menjamurnya sekolah-sekolah swasta. Ini dapat dipahami
karena jabatan-jabatan pemerintah membutuhkan lulusan dari sekolah-sekolah
Belanda dan pendidikan Barat memungkinkan orang untuk bergaul dan berhubungan
dengan bangsa Belanda pada taraf yang sama atau setidak-tidaknya lebih tinggi
dari pada jika hanya berpendidikan Indonesia. Kebijakan ini dari sisi kuantitas
tidak begitu signifikan, tapi telah mampu menyadarkan rakyat Indonesia akan
pentingnya pendidikan sebagai sarana mobilitas sosial sehingga mampu
memunculkan kaum elit baru yang peduli kepada bangsanya yang menuntut emansipasi
dan kemerdekaan.
Abdul Mukti Ali, Interpretasi Amalan
Muhammadiyah (Jakarta: Harapan Melati, 1985) hlm. 26-27.
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan ……. hlm
92.
Abdul Mukti Ali, Beberapa Persoalan Dewasa Ini
(Jakarta: Rajawali Pers,1987) hlm. 20.
Konsep Sekolah Syariah berasal dari Prof.
Moch. Sholeh YAI, PhD, konsultan SD Muhammadiyah Program Khusus, mengacu pada
lembaga pendidikan yang mengarahkan warga sekolah, khususnya peserta didik agar
mampu mengotimalisasikan Tauhid.
Sajjad Husain & Ali Ashraf, Menyongsong
Keruntuhan Pendidikan Islam (Bandung: Gema Risalah Press, 1994) hlm. 1.
Ibid. hlm. 4.
Tentang trend sekolah umggul di lingkungan
Muhammadiyah lihat Marpuji Ali & Mohamad Ali, “Meretas Sekolah Unggul dan
Menata Majlis Dikdasmen Muhammadiyah” dlm Suara Muhammadiyah 1-15 Oktober 2004.
Secara normatif rumusan Sekolah Muhammadiyah Unggul apabila out putnya mampu
(1) tertib ibadah; (2) mahir baca tulis al-Qur’an; (3) berwawasan kebangsaan;
(4) pengetahuan akademis tinggi; (5) mampu berbahasa asing; (6) memiliki
ketrampilan komputer, lihat Program Kerja Majlis Dikdasme PP Muhammadiyah.
Pengertian sekolah unggul yang dipahami
masyarakat merujuk pada seberapa besar jumlah siswanya yang diterima di
sekolah-sekolah favorit di jenjang berikutnya, di luar itu faktor kedisiplinan
warga sekolah, kelengkapan sarana pendidikan, prestasi anak-anak dalam setiap
perlombaan, dan pelayanan juga menjadi pertimbangan tersendiri dalam
menjatuhkan pilihan.
Dalam sejarah perkembangan tafsir A-Qur’an pada
garis besarnya terdapat dua model penafsiran: tafsir al-ma’tsur (riwayat) dan
tafsir al-mawdhu’iy (tematik). Yang pertama, metode ma’tsur, dalam menafsirkan
al-Qur’an didasarkan atas tiga sumber; penafsiran Nabi Muhammada saw.,
penafsiran sahabat-sahabat Nabi, dan dan penafsiran tabiin. Sedangkan metode
mawdhu’iy memiliki dua pengertian: (1) penafsiran menyangkut satu surat dalam
al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan
tema semtralnya, serta menghubungkan persoalan yang beraneka ragam dalam surat
tersebut sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu
kesatuan. (2) penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang
membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan yang
sedapat mungkin dirunut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan
pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut guna menarik petunjuk al-Qur’an
secara utuh tentang masalah yang dibahas itu. Lihat M. Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an. (Bandung: Mizan, 1993) hlm. 71-74. Berbeda dengan kedua
penafsiran tersebut, menurut Prof Sholeh tafsir sistem tidak menterjemahkan
teks (simbol) ke teks (simbol) tapi langsung pada realitas.
M. Sholeh YAI & Mohamad Ali, “Menuju
Kurikulum Berbasis Tauhid” dlm. PK Media II/2004.
Sudah satu tahun lebih Tim SD Muhammadiyah
Program Khsusus Kottabarat dengan bimbingan Prof. Sholeh mencoba menyusun
kurikulum tersendiri yang berbasis Tauhid, dan proses ini masih terus berlangsung mungkin sudah
mencapai 95%. Secara skematis urutannya adalah: Al-Qur’an dan Sunnah juga
Asmaul Husna, materi, perkembangan anak, lingkungan (sekolah, rumah, dan
masyarakat), prosedur dan proses, dan tujuan (jangka pendek dan panjang).
Berdasarkan urutannya terlihat dengan jelas bahwa Al-Qur’an diletakkan di
bagian depan yang bermakna bahwa semua tema pembelajaran (baca: ayat kauniyah)
dilandasi dengan dengan konsep wahyu (ayat qauliyah) yang tidak boleh dilupakan
bahwa alur penjelasannya harus mempertimbangkan tingkat perkembangan peserta
didik. Lebih dari itu, konsep-konsep itu juga musti dieksplorasi baik di
lingkungan sekolah (ustadz/ustadzah dan peserta didik lain), lingkungan
keluarga (orang tua dan saudaranya), dan lingkungan sosial (warga masyarakat).
Dengan pembelajaran yang demikian, diharapkan mereka tidak hanya menjadi orang
yang profesional di bidangnya sekaligus manusia yang berkualifikasi Ulul
Albab.
M. Sholeh YAI & Mohamad Ali, Menuju……….
hlm. 39
Tim Dosen IAIN Sunan Ampel Malang. Dasar-Dasar
Kependidikan Islam (Surabaya: Karya Abditama, 1996) hlm. 126.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar